CERITAHOT | Kejadian ini berawal sekitar bulan September 1999 yang lalu. Tanggal
berapa tepatnya aku sudah lupa. Aku mempunyai seorang teman yang sangat
dekat denganku, sebut saja namanya Heri. Aku dan Heri sama-sama kuliah
di kota Y pada sebuah universitas swasta yang sama pula. Karena kami
satu kampus, maka kami sering bertemu baik waktu kuliah maupun di luar
lingkungan kampus.
Begitu akrabnya kami sampai urusan mencari
cewek pun kami sering pergi berdua. Hingga suatu saat Heri bener-bener
jatuh cinta dengan seorang gadis yang juga kuliah di salah satu akademi
di kota Y juga, hubungan kami jadi agak renggang. Entahlah sejak
berpacaran dengan Erika, nama pacarnya Heri itu, Heri begitu cemburuan.
Memang harus kuakui kalau Erika memang termasuk cantik. Disamping itu
Erika memang terlalu cantik untuk ukuran temanku, Heri itu. Padahal
kalau menurutku sih adalah hal yang biasa kalau cowok jelek pacarnya
cantik. Kuharap temen-temen pembaca juga setuju.
Kukatakan Erika
cantik bukanlah penilaianku secara subjektif. Teman-temanku yang lain
juga bilang begitu. Bagi kaum lelaki yang memandang mata Erika boleh
jadi langsung birahi. Percaya atau tidak mata Erika begitu sayu
seolah-olah minta digituin ditambah lagi dengan bibirnya yang seksi dan
suka digigit-gigit kalau Erika sedang gemes.
Tapi memang Erika cewek
matre. Dasarnya aku berkata demikian karena sebelum pacaran dengan Heri,
Erika punya pacar yang jauh lebih ganteng dari temanku, Heri. Erika
juga pernah bilang kepadaku kalau lebih baik cowok nggak usah ganteng
tapi kaya dibanding cowok ganteng tapi kere. Nah, lho..
Pagi itu
aku kebetulan ada perlu sama Heri mengenai masalah kuliah. Aku
mengendarai sepeda motor menuju kost Heri yang jaraknya kira-kira 2 km
dari kontrakanku. Sesampainya di kost Heri, aku melihat garasi tempat
mobil Heri biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Heri
sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan
Heri.
Setelah aku memarkir sepeda motor teman yang kupinjam, aku
masuk menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan
terbuka langsung menuju ke kamar Heri. Di dalam rumah itu ada 4 kamar
dan kamar Heri yang paling pojok. Masing-masing kamar kelihatan tertutup
pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu.
Aku ingin menulis
pesan di pintu kamar Heri karena memang aku sangat perlu dengannya.
Samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar Heri pertanda ada
seseorang di dalam kamarnya. Aku memastikan kalau yang di dalam kamar
itu adalah Erika, pacar Heri. Aku mengetuk pintu perlahan sambil
memanggil nama temanku. Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka
kira-kira sekepalan tangan dan kulihat wajah Erika nongol dari celah
pintu yang terbuka.
"Eh, Mas Doni.. Herinya kuliah Mas," jawabnya
sebelum aku bertanya. Entah mengapa pikiranku jadi negatif ketika
menatap mata Erika yang sayu itu. Aku sambil tersenyum menatapnya.
"Jam berapa pulangnya, Ka?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
"Mungkin jam 2 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Heri sering molor sih waktunya,"´ jawabnya agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 10 pagi berarti Heri pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikirku nakal.
Aku
mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang
obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengannya. Agak lama aku terdiam.
Aku memandang matanya, bibirnya yang basah. Bibirnya yang dipoles warna
merah menambah sensual bibirnya. Semakin lama aku melihatnya semakin
aku terangsang. Sungguh, jantungku deg-degan saat itu.Mata Erika tidak
berkedip sekejap pun membalas tatapan mataku.
"Anak-anak ke mana semua, Ka?" tanyaku menanyakan anak-anak kost yang lain setelah agak lama kami terdiam.
"Mas
Doni mau cari Heri atau.." kata-katanya terputus tapi aku bisa
menerjemahkan kelanjutan kalimatnya dari senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
"Aku juga pengen ketemu denganmu, Ka!" jawabku berpura-pura.
Dia tertawa pelan, "Mas Doni kenapa, sih?" Dia memandangku.
"Boleh aku masuk, Ka? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," jawabku lagi.
"Sebentar, ya Mas Don, kamarnya berantakan!"
Erika
lalu menutup pintu di depanku. Tidak beberapa lama berselang pintu
terbuka kembali lalu dia mempersilakan aku masuk ke dalam kamar. Aku
duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai. Erika masih sibuk
membereskan pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi
belajar. Aku menatap tubuh Erika yang membelakangiku.
Saat itu dia
mengenakan kaos ketat warna kuning yang memperlihatkan pangkal lengannya
yang mulus. Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh celana pendek.
Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus. Kemaluanku jadi tegang
memandang semuanya ditambah khayalanku seandainya aku membelai-belai
kedua pangkal pahanya.
Kemudian Erika duduk di sampingku.
Lututnya ditekuk sehingga celananya agak naik ke atas membuat pahanya
semakin terpampang lebar. Kali ini tanpa malu-malu aku menatapnya dengan
sepengetahuan Erika. Dia mencoba menarik turun agak ke bawah ujung
celananya untuk menutupi pahanya yang sedang kunikmati.
"Mas Doni mau bicara apa, sih?" katanya tiba-tiba.
Saat
itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau sebenarnya aku tidak punya
bahan pembicaraan yang berarti dengannya. Soalnya dalam pikiranku saat
itu cuma khayalan-khayalan untuk bersetubuh dengannya.
"Mmm.. Ka..
aku beberapa hari ini sering bermimpi," kataku berbohong. Entah dari
mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu tetapi aku
merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
"Mimpi tentang apa, Mas?" Kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
"Tentang kamu, Ka," jawabku pelan.
Bukannya
terkejut, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku.
Sampai-sampai Erika menutup mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar
terlalu keras.
"Emangnya Mas Doni mimpi apa sama aku?" tanyanya penasaran.
"Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu," jawabku sambil tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menolehnya.
"Mas
Doni ini ada-ada saja, Mas Doni kan sudah punya pacar, lagian aku juga
kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?"
"Makanya aku juga bingung, Ka. Lagian kalaupun bisa aku sebenarnya nggak ingin bermimpi tentang kamu, Ka," jawabku.
Kami
sama-sama terdiam. Kuremas jemari tangannya lalu perlahan kuangkat
menuju bibirku. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan ciuman
mesra ke punggung tangannya. Aku menggeser posisi dudukku agar lebih
dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya.
Mata kami berpandangan.
Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari bibirnya, semakin dekat dan
tiba-tiba wajahnya berpaling sehingga mulutku bendarat di pipinya yang
mulus. Kedua tanganku kini bergerak aktif memeluk tubuhnya.
Tangan
kananku menggapai dagunya lalu mengarahkan wajahnya berhadapan dengan
wajahku. Kuraup mulutnya seketika dengan mulutku. Erika menggeliat pelan
sambil menyebutkan namaku.
"Mas Don, cukup Mas!" tangannya mencoba mendorong dadaku untuk menghentikan kegiatanku.
Aku menghentikan aksiku lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
"Maafin aku, Ka.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam memimpikan dirimu."
Aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali perbuatanku.
"Aku mengerti Mas Don, Aku juga nggak bisa menyalahkan Mas Doni karena mimpi itu."
Aku
menatap wajahnya lagi. Ada semacam kesedihan di wajahnya hanya saja aku
tak tahu apa penyebabnya. Pipinya masih kelihatan memerah bekas
cumbuanku tadi.
"Aku juga ingin membantu Mas Doni agar tidak
terlalu memikirkanku, tapi.."´ kalimatnya terputus. Dalam hati aku
tersenyum dengan kalimat ingin membantu yang diucapkannya.
"Ka, aku cuma ingin pergi berdua denganmu, sekali saja.. agar aku bener-bener bisa melupakanmu," kataku memohon.
"Kita kan sama-sama sudah punya pacar, Mas Don, nanti kalau ketahuan gimana?"
Nah, kalau sudah sampai disini aku merasa mendapat angin. Kesimpulannya
dia mau asal jangan sampai ketahuan sama pacarnya. Batinku tertawa
penuh kemenangan.
"Seandainya ketahuan aku akan bertanggung jawab,
Ka" setelah itu aku memeluknya lagi. Dan kali ini dia benar-benar pasrah
dalam pelukanku. Malah tangannya ikut membalas memeluk tubuhku. Telapak
tanganku perlahan mengelus punggungnya dengan mesra sementara bibirku
tidak tinggal diam menciumi pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang.
Erika mendesah.
Kuciumi kulitnya dengan penuh nafsu. Mulutku meraup
bibirnya. Erika diam saja. Kulumat bibirnya lalu kujulurkan lidahku
perlahan seiring mulutnya mempersilakan lidahku untuk menjelajah rongga
mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika lidahku memilin lidahnya.
Kesempatan
ini kugunakan untuk membelai buah dadanya. Perlahan telapak tanganku
kutarik dari punggungnya melalui ketiaknya. Tanpa berhenti membelai
telapak tanganku kini sudah berada pada sisi buah dadanya. Aku
benar-benar berahi saat itu. Apalagi aku sudah sering membayangkan
kesempatan seperti saat ini bersamanya.
Kini telapak tanganku
sudah berada di atas gundukan daging di atas dadanya. Besar juga
pikirku, kalau tidak salah dari kebiasaan tanganku menggenggam payudara
cewekku mencoba menduga-duga payudaranya ukuran 34. Tidak terlalu besar
dan tidak terlalu kecil, justru yang seperti ini yang paling nikmat.
Pada
saat tanganku mulai meremas buah dadanya yang sebelah kanan tangan
Erika mencoba menahan aksiku. Payudaranya masih kencang dan padat
membuatku semakin bernafsu untuk meremas-remasnya.
"Mas Don, jangan sekarang Mas.."
"Aku takut.." katanya berulang kali.
Aku
juga merasa tindakanku saat itu betul-betul nekat, apalagi pintu kamar
masih terbuka setengah. Jangan-jangan ada anak kost lain yang melihat
perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya.
Aku akhirnya berdiri
dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana. Soalnya bagaimanapun juga
Erika sudah bisa kunikmati, tinggal menunggu waktu yang tepat. Lagian
aku bukanlah tipe laki-laki yang suka terburu-buru dalam berbagai hal,
khususnya dalam masalah seks.
Aku kini duduk di kursi menghadap
Erika sedangkan Erika masih di atas kasur sambil memperbaiki rambut dan
kaosnya kuningnya yang agak kusut.
"Mas Doni mau ngajakku ke mana, sih," Erika menatap wajahku.
"Pokoknya
tempat di mana tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan kita,
Ka," jawabku sambil memandang permukaan dadanya yang baru saja
kuremas-remas.
Erika duduk sambil bersandar dengan kedua tangan di
belakang untuk menahan tubuhnya. Payudaranya jadi kelihatan menonjol.
Aku memandang nakal ke arah buah dadanya sambil tersenyum. Kakinya
diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku.
"Tapi kalau ketahuan.. Mas Doni yang tanggung jawab, ya" katanya mencoba menuntut pernjelasanku lagi. Aku mengangguk.
"Terus kapan jalan-jalannya, Mas Don?" "Gimana kalo besok sore jam 4?" tanyaku.
"Ketemu di mana?" tanyanya penasaran.
"Kamu telepon aku dari wartel lalu aku akan menjemputmu di wartel itu, gimana?" tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku, "Wah, Mas Doni ternyata pintar banget untuk urusan begituan."
Aku tertawa.
"Tapi aku nggak mau kalau Mas Doni nidurin aku," tegasnya.
Aku
terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa besok aku
sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Erika. Makanya besok sengaja aku
memilih waktu sore hari karena aku ingin mengajaknya menginap.
Namun aku
diam saja, yang penting dia sudah mau aku ajak pergi, tinggal
penyelesaiannya saja. Lagian ngapain dia mesti minta tanggung jawab
seandainya aku tidak berbuat apa-apa dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat
besok sajalah.
Akhirnya aku mesti pulang ke rumah, di samping
memang Erika juga menyuruhku segera pulang karena dia juga takut kalau
tiba-tiba Heri memergoki kami sedang berdua di kamar. Namun sebelum
pulang aku masih sempat menikmati bibir Erika sekali lagi waktu berdiri
di samping pintu.
Aku malah sempat menekan tubuh Erika hingga
punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini kugunakan untuk menekan
kejantananku yang sedari tadi butuh penyaluran ke selangkangannya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena situasinya memang tidak
memungkinkan.
Di rumah aku gelisah terus. Kemaluanku tegang terus
membayangkan apa yang telah dan bakal aku lakukan terhadap Erika.
Akhirnya sore itu aku menjemput pacarku Era untuk melampiaskan nafsuku
yang sudah tidak terkendali lagi. Bersama Era aku mencoba berfantasi
sedang bersetubuh dengan Erika. Untung saja Era tidak tahu kalau
sebenarnya aku sedang membayangkan Erika karena pada saat orgasme
mulutku mengerang memanggil nama Erika.
Besoknya,
aku merasa waktu begitu lama berjalan. Hingga tiba jam 4 sore aku
menanti telepon dari Erika. Aku mulai gelisah ketika 15 menit berlalu
Erika belum menelepon juga. Aku mulai menghitung detik-detik yang
berlalu hingga hampir setengah jam, namun tiba-tiba.
Teleponku
berbunyi. Seketika aku berlari menuju ruangan telepon. Dari seberang
sana aku mendengar suara Erika yang kunanti-nantikan. Erika meminta maaf
sebelumnya dan menyuruhku untuk menjemputnya di wartel dekat pertigaan
menuju kampusku. Aku langsung menyambar kunci mobil lalu bergegas menuju
wartel tempat di mana Erika sedang menungguku.
Aku memarkir
mobil di depan wartel itu, dan tak lama berselang kulihat Erika dengan
memakai kaos ketat warna orange bertuliskan Mickey Mouse di bagian
dadanya serta celana jeans warna abu-abu. Erika langsung naik ke atas
mobil setelah memastikan tidak ada orang lain yang mengenalnya di tempat
itu.
Aku tersenyum memandangnya. Erika kelihatan begitu cantik
hari ini. Bibirnya hari ini dipoles warna silver, bikin jantung ini
semakin deg-degan. Segera kutancap gas menuju arah KG yang berhawa sejuk
kira-kira 30 km dari kota Y.
Selama di perjalanan aku dan Erika
bercerita tentang Heri dan Era, pacarku. Sampai di KG aku mengajak Erika
makan pada sebuah rumah makan yang nuansa romantisnya sangat terasa.
Aku tanpa canggung lagi memeluk pinggang Erika pada saat kami memasuki
rumah makan tersebut. Erika juga melingkarkan tangannya di pinggangku.
Setelah memesan makanan dan minuman aku memeluknya lagi. Tanganku
bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka. Suasana lesehan yang
ruangan yang dibagi-bagi beberapa tempat di rumah makan itu membuat aku
bisa bertindak leluasa kepada Erika.
"Tadi malam mimpi lagi, nggak?" tanyanya.
"Nggak, tapi aku sempat membayangkanmu waktu aku lagi main sama Era," jawabku tanpa malu-malu.
Erika
tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku. Hari sudah agak malam
ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar
lokasi pegunungan, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar
pada sebuah penginapan. Semula Erika menolak soalnya dia takut kalau
kami tidak bisa menahan diri. Aku akhirnya meyakinkan Erika bahwa
sebenarnya aku cuma ingin berdua saja dengannya, sambil memeluk
tubuhnya, itu saja.
Akhirnya Erika mengalah. Dalam kamar
penginapan itu Erika tampak jadi pendiam. Dia duduk di atas kursi
sementara aku di atas tempat tidur. Aku mencoba menghiburnya dengan
bertanya tentang kuliah serta keluarganya termasuk hubungannya dengan
Heri. Selama aku bertanya dia cuma menjawab ya dan tidak, cuma itu yang
keluar dari mulutnya.
"Mas Doni pasti menganggap aku cewek murahan, ya
kan?" akhirnya dia berbicara juga jadinya.
Ternyata Erika masih belum
bisa menerima perlakuanku dengan membawanya ke dalam penginapan ini.
Namun aku tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya dia sudah
tahu apa yang bakalan terjadi sejak kejadian kemarin pagi di kamar Heri.
Tinggal bagaimana caranya aku menyeretnya ke atas ranjang tanpa ada
pemaksaan sedikitpun.
"Ka, aku sudah bilang sejak kemarin kalau
aku ingin berduaan saja bersamamu, memelukmu tanpa ada rasa takut, dan
kurasa di sinilah tempatnya," jawabku mencoba memberikan pengertian
kepadanya.
"Tapi apa Mas Doni sanggup untuk tidak melakukannya?" Erika menatapku tajam.
"Kalau kamu gimana?" aku malah balik bertanya.
"Aku tanya Mas Doni, kok malah balik nanya ke aku?" tanyanya agak ketus.
"Aku sanggup, Ka" tegasku.
Akhirnya
dia tersenyum juga. Erika lalu berjalan ke arahku menuju tempat tidur
lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya lalu membaringkan
tubuhnya di atas kasur.
"Janji ya, Mas Don!" ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Aku
kini memeluk tubuh Erika dengan posisi menyamping sedang Erika
menghadap langit-langit kamar. Kucium pipinya sambil jemariku
membelai-belai bagian belakang telinganya. Matanya terpejam seolah
menikmati usapan tanganku.
Kupandangi wajahnya yang manis, hidungnya
yang mancung lalu bibirnya. Tak tahan berlama-lama menunggu akhirnya aku
mencium bibirnya. Kulumat mesra lalu kujulurkan lidahku. Mulutnya
terbuka perlahan menerima lidahku. Lama aku mempermainkan lidahku di
dalam mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku,
sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tidak beraturan.
Sesaat
ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berpagutan
lagi dan lagi. Tangan kiriku yang bebas untuk melakukan sesuatu terhadap
Erika kini mulai kuaktifkan. Kubelai pangkal lengannya yang terbuka.
Kubuka telapak tanganku sehingga jempolku bisa menggapai permukaan
dadanya sambil membelai pangkal lengannya.
Bibirku kini turun menyapu
batang lehernya seiring telapak tanganku meraup buah dadanya. Erika
menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan
berulang kali keluar dari mulutnya di saat lidahku menjulur menikmati
batang lehernya yang jenjang.
"Mas Don, jangan..!" Erika mencoba
menarik telapak tanganku yang kini sedang
meremas-remas buah dadanya.
Aku tidak peduli lagi. Lagian dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh
untuk melarangku. Hanya mulutnya yang melarang sedang tangannya cuma
memegang pergelangan tanganku sambil membiarkan telapak tanganku terus
mengelus dan meremas buah dadanya yang montok membusung.
Suasana
alam pegunungan yang dingin saat ini sangat kontras dengan keadaan di
dalam kamar tempat kami bergumul. Aku dan Erika mulai kegerahan. Aku
akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang dada.
"Ka, aku ingin
melihat buah dadamu, Sayang.." ujarku sambil mengusap bagian puncak
payudaranya yang menonjol. Dia menatapku.
Mestinya aku tidak perlu
memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah membelai dan
meremas-remas buah dadanya, tapi entah kenapa aku lebih suka jika Erika
membuka kaosnya sendiri untukku. "Tapi janji Mas Don ya, cuma yang ini
aja," katanya lagi. Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang
mesti kujanjikan lagi.
Erika akhirnya membuka kaos ketat warna
orange-nya di depanku. Aku terkagum-kagum menatap gundukan daging di
dadanya yang tertutup oleh BH berwarna hitam. Payudara itu begitu
membusung, menantang.
Buah dada Erika naik turun seiring dengan desah
nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Erika membuka pengait BH-nya di
punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Erika
ketika dia mencoba untuk menurunkan tali BH-nya dari atas pundaknya.
Justru dengan keadaan BH-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti
itu membuat payudaranya semakin menantang. Payudaranya sangat montok
sama seperti yang selama ini kubayangkan.
"Buah dadamu bagus, Ka"
aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. "Pantes si Heri jadi
tergila-gila sama Erika," pikirku.
Perlahan aku menarik turun cup
BH-nya. Mata Erika terpejam. Perhatianku terfokus ke puting susunya yang
berwarna kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar sedang ujungnya
begitu runcing dan kaku. Kuusap putingnya lalu kupilin dengan jemariku.
Erika mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi buah dadanya.
"Egkhh.."
rintih Erika ketika mulutku melumat puting susunya. Kupermainkan dengan
lidah dan gigiku. Sekali-sekali kugigit putingnya lalu kuisap kuat-kuat
sehingga membuat Erika menarik rambutku. Puas menikmati buah dada yang
sebelah kiri, aku mencium buah dada Erika yang satunya yang belum sempat
kunikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti
keluar dari mulut Erika. Sambil menciumi buah dada Erika, tanganku turun
membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu
perlahan turun mengitari lembah di bawah perut Erika.
Kubelai
pahanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk
meraba bagian kewanitaannya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat
yang dikenakan Erika. Aku secara tiba-tiba menghentikan kegiatanku lalu
berdiri di samping ranjang.
Erika tertegun sejenak memandangku, lalu
matanya terpejam kembali ketika aku membuka jeans warna hitam yang
kukenakan. Sengaja aku membiarkan lampu yang menyala terang agar aku
bisa melihat secara jelas detil dari setiap inci tubuh Erika yang selama
ini sering kujadikan fantasi seksku.
Aku masih berdiri sambil memandang
tubuh Erika yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang tidak
terlalu putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar.
Celana jeans ketat yang dipakainya telihat terlalu longgar pada
pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan
lekukan pantatnya yang sempurna.
Puas memandang tubuh Erika, aku
lalu membaringkan tubuhku di sampingnya. Kurapikan untaian rambut yang
menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Erika. Kubelai
lagi buah dadanya. Kucium bibirnya sambil kumasukkan air liurku ke dalam
mulutnya. Erika menelannya. Tanganku turun ke bagian perut lalu
menerobos masuk melalui pinggang celana jeans Erika yang memang agak
longgar. Jemariku bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan
Erika yang masih tertutup celana dalamnya.
Erika menahan tanganku ketika
jari tengah tanganku membelai permukaan celana dalamnya tepat diatas
kemaluannya, basah. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk
menggelitik bagian yang paling pribadi tubuh Erika. Pinggul Erika
perlahan bergerak ke kiri, ke kanan dan sesekali bergoyang untuk
menetralisir ketegangan yang dialaminya.
"Mas Don, nanti kita
terlalu jauh, Mas.." ujarnya perlahan sambil menatap sayu ke arahku.
Melihat matanya yang sayu ditambah dengan rangsangan yang dialami Erika
menambah redup bola matanya. Swear, aku semakin bernafsu melihatnya. Aku
menggeleng lalu tersenyum. Dibilang begitu aku malah menyuruh Erika
untuk membuka celana jeans yang dipakainya.
Tangan kanan Erika
berhenti pada permukaan kancing celananya. Kelihatannya dia ragu-ragu.
Aku lalu berbisik mesra ke telinganya kalau aku ingin memeluknya dalam
keadaan telanjang seperti yang selama ini aku mimpikan. Erika lalu
membuka kancing dan menurunkan reitsliting celana jeans-nya.
Celana
dalam hitam yang dikenakannya begitu mini sehingga rambut-rambut
keriting yang tumbuh di sekitar kemaluannya hampir sebagian keluar dari
pinggir celana dalamnya. Aku membantu menarik turun celana jeans Erika.
Pinggulnya agak dinaikkan ketika aku agak kesusahan menarik celana jeans
Erika. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan celana dalam.
Tubuhnya semakin seksi saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus kuakui
tubuhnya begitu menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal.
Erika
menarik selimut untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk
ke dalam selimut lalu memeluk tubuh Erika. Kami berpelukan. Kutarik
tangan kirinya untuk menyentuh batang kejantananku. Dia terkejut
mendapatkan kemaluanku yang tanpa penutup lagi. Memang sebelum masuk ke
dalam selimut, aku sempat melepaskan celana dalamku tanpa sepengetahuan
Erika. Aku tersenyum. "Oh.." Erika semakin kaget ketika tangannya
menyentuh kemaluanku yang tegang.
"Kenapa, Ka?" tanyaku pura-pura
tidak mengerti. Padahal aku tahu dia pasti terkejut karena merasakan
kejantananku yang kokoh. Erika tersenyum malu. Kemaluanku yang
panjangnya kira-kira 18 cm serta agak gemuk membuat Erika malu tapi mau,
ditambah takut, mungkin. Erika mulai berani membelai dan menggenggam
kejantananku. Belaiannya begitu mantap menandakan Erika juga begitu
piawai dalam urusan yang satu ini.
"Tangan kamu pintar juga ya, Ka,"´ ujarku sambil memandang tangannya yang mengocok senjataku.
"Ya, mesti dong!" jawabnya sambil cekikikan.
"Mas Doni sama Era satu minggu bisa main berapa kali, Mas?" tanyanya sambil terus mengurut-urut batang zakarku.
"Setiap ketemu pasti main, kalau kamu sama Heri?" aku malah balik bertanya.
Mendapat
pertanyaan seperti itu entah kenapa nafsuku tiba-tiba semakin liar
namun aku tetap bertahan untuk sementara waktu sebelum menyetubuhinya.
Erika akhirnya bercerita kalau Heri ternyata suka main perempuan,
padahal bukankah sudah ada dirinya? Mau berapa kali Heri meminta, Erika
pasti melayaninya.
Akhirnya aku jelaskan kalau cowok memang begitu.
Sudah dari sononya. Sama seperti aku, kenapa masih menginginkan Erika
padahal Era siap melayaniku setiap waktu. Sambil memberikan perjelasan
begitu jari-jariku yang nakal masuk dari samping celana dalam langsung
menyentuh bukit kemaluan Erika yang sudah basah. Telunjukku
membelai-belai klitorisnya sehingga Erika keenakan.
"Kamu biasa ngisep nggak, Ka?" tanyaku tanpa malu-malu lagi. Erika tertawa sambil mencubit batang kemaluanku. Aku meringis.
"Kalo punya Mas Doni mana bisa?" ujarnya.
"Kenapa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Nggak muat di mulutku," selesai berkata demikian Erika langsung tertawa kecil.
"Kalau
yang dibawah, gimana?" tanyaku lagi sambil menusukkan jari tengahku ke
dalam lubang kemaluannya.
Erika merintih sambil menahan tanganku. Jariku
sudah tenggelam ke dalam liang senggamanya. Aku merasakan liang
kewanitaannya berdenyut menjepit jariku. Ugh, pasti nikmat sekali kalau
kemaluanku yang diurut, pikirku. Matanya memandang tajam ke arahku.
Kenapa,
sayang?" aku bertanya sambil menarik tanganku dari liang kewanitaannya.
Aku tahu dia marah. Tapi kenapa? Ini anak, kok aneh banget, jual mahal
lagi, pikirku. Atau dia ingat Heri lalu merasa bersalah? Terus ngapain
dia mau kucumbuin sejak kemarin?
"Mas Doni kan sudah janji untuk tidak melakukannya, kan?" tiba-tiba Erika berbicara. Aku terdiam.
"Aku
tadi nggak mau kita masuk ke penginapan, karena aku takut kita nggak
bisa menahan keinginan untuk melakukannya, Mas Don," tambahnya
memberikan pengarahan kepadaku.
"Bagaimanapun juga khusus untuk yang
satu ini tidak dapat aku berikan buat Mas Doni. Bukan hanya Mas Doni,
aku juga sebenarnya sudah nggak tahan. Aku nggak munafik, Mas Don.
Tapi. kumohon Mas Doni mau mengerti sampai saatnya aku benar-benar
siap," sambil berkata demikian Erika mencium keningku.
Aku tidak tahu
harus berbuat apa saat itu. Dalam posisi yang sudah sama-sama telanjang
kecuali Erika yang masih mengenakan celana dalamnya, berdua di dalam
sebuah kamar lagi dapat dibayangkan apa sebenarnya yang bakal terjadi.
Tetapi kali ini tidaklah demikian. Bayanganku tentang kenikmatan saat
bersetubuh dengan Erika sirna sudah, atau setidaknya tidak dapat
kurasakan saat ini. Tapi sampai kapan? Aku jadi berpikiran untuk
memaksanya saja tetapi hal itu bertentangan dengan hati nuraniku.
Akhirnya aku cuma bisa pasrah dan diam.
Kemaluanku yang tadi
kurasakan tegang tiba-tiba jadi lemas dalam genggaman Erika. Erika
meminta maaf kepadaku menyadari kalau aku kecewa dengan pernyataannya.
Merasa aku sudah tak mungkin bisa untuk melanjutkan permainan lagi aku
akhirnya meminta ijin kepada Erika untuk mandi. Sungguh aku kecewa
sekali.
Di kamar mandi lama aku terdiam. Aku memandang tubuhku di
depan cermin. Kemudian kuguyur tubuhku dengan air yang mengalir dari
shower di atas kepalaku. Aku ingin mendinginkan suhu tubuhku. Tiba-tiba
aku merasakan tubuh yang memelukku dari belakang. Aku terkejut namun
cuma sesaat setelah menyadari Erika di belakangku. Dia tersenyum
memandangku. Eh, lagi-lagi sungguh aku masih kesel nih, gumamku. Tapi
aku mencoba membalas senyumannya. "Aku ingin mandi bersama Mas Doni,"
pintanya manja.
Kutarik tubuhnya untuk berhadapan denganku. Masih di
bawah guyuran air yang mengalir dari shower aku menangkap lengannya lalu
memandang tajam ke arahnya. Berulang kali tangannya mencoba mengusap
wajahnya dari guyuran air. Rambutnya yang basah menambah seksi wajahnya.
Perlahan
tanganku menangkap buah dadanya dan meremasnya kuat. Erika meringis.
Bukannya melarang, Erika malah mengambil sabun lalu menyabuni tubuhku.
Mula-mula dada, punggung lalu menuju kemaluanku. Aku merasa aneh atas
sikapnya yang berubah-ubah dan suka menggoda.
Diusapnya lembut batang
kemaluanku yang sedikit demi sedikit mulai mengeras kembali. Tangannya
yang penuh busa sabun begitu kreatif mengocok batang kejantananku
sehingga aku merasa keenakan. Aku tidak hanya tinggal diam, kubalas
menyabuni sekujur tubuh Erika.
Aku mengikuti setiap gerakan yang
dibuatnya terhadap tubuhku lalu kupraktekkan kepadanya. Aku membalikkan
tubuh Erika membelakangiku. Sengaja kubiarkan tubuhnya di depanku agar
aku dapat melihat bagian depan tubuhnya pada permukaan cermin di
depannya.
Aku melihat wajah Erika pada permukaan cermin, Mata kami
beradu pandang sementara tanganku membelai-belai buah dadanya yang
montok. Kupermainkan puncak payudaranya dengan jemariku, sementara
tanganku yang satunya mulai meraba bulu-bulu lebat di sekitar liang
kewanitaan Erika.
Dengan sedikit membungkukkan tubuh, kuraba permukaan
liang kewanitaan Erika. Jari tengahku mempermainkan klitorisnya yang
mengeras terkena siraman air. Batang kemaluanku kini sudah siap tempur
dalam genggaman tangan Erika, sementara liang kewanitaan Erika juga
sudah mulai mengeluarkan cairan kental yang kurasakan dari jemari
tanganku yang mengobok-obok kemaluan Erika.
Aku membalikkan tubuh
Erika kembali sehingga berhadap-hadapan denganku. Kupeluk tubuh Erika
sehingga batang kemaluanku menyentuh pusarnya. Tanganku membelai
punggung lalu turun meraba pantatnya yang montok. Erika membalas
pelukanku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
Kedua telapak
tanganku meraih pantat Erika, kuremas dengan sedikit agak kasar lalu
kuangkat agak ke atas agar batang kemaluanku tepat mengenai liang
kewanitaannya. Kaki Erika kini tak lagi menyentuh permukaan lantai kamar
mandi. Kaki Erika dengan sendirinya mengangkang ketika aku mengangkat
pantatnya.
Meski agak susah namun aku tetap berusaha agar batang
kemaluanku bisa masuk merasakan jepitan liang kewanitaan Erika.
Kurasakan kepala batang kemaluanku sudah menyentuh bibir liang
kewanitaan Erika. Kutekan perlahan seiring menarik pantatnya ke tubuhku.
Erika menggeliat. Aku merasa kesulitan untuk memasukkan batang batang
kemaluanku ke dalam liang kewanitaan Erika berhubung karena kelaminku
yang terus-terusan basah terkena air shower.
Kuangkat tubuh Erika
ke luar dari kamar mandi. Bagaimanapun juga aku tidak boleh
menyia-nyiakan kesempatan ini, apalagi Erika hanya diam saja ketika aku
berusaha menyusupkan batang kemaluanku ke liang senggamanya. Erika
melingkarkan kedua kakinya di pinggangku pada saat aku membawanya menuju
tempat tidur.
Kubaringkan tubuhnya di atas kasur menyusul tubuhku di
atasnya tanpa mempedulikan butiran-butiran air yang masih menempel di
sekujur tubuh kami hingga membasahi permukaan kasur. Kuciumi lagi
lehernya yang jenjang lalu turun melumat buah dadanya. Telapak tanganku
terus membelai dan meremas setiap lekuk dan tonjolan pada tubuh Erika.
Aku melebarkan kedua pahanya sambil mengarahkan batang kemaluanku ke
bibir kemaluan Erika. Erika mengerang lirih. Matanya perlahan terpejam.
Giginya menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju birahinya yang
semakin kuat. Aku menatap mata Erika penuh nafsu seakan memohon
kepadanya untuk memasuki tubuhnya.
"Aku ingin mengentotmu, Ka"
bisikku pelan, sementara kepala kemaluanku masih menempel di belahan
liang kewanitaan Erika. Sengaja aku memilih kata mengentot agar kesan
joroknya lebih terasa. Kata ini ternyata membuat wajah Erika memerah.
Mungkin dia jarang mendengarnya padahal aku begitu sering
mengungkapkannya kepada setiap wanita yang kusetubuhin. Kupastikan Erika
malu mendengarnya.
Aku berhenti sesaat untuk menunggu jawaban
darinya, sebab bagaimana pun aku tidak mau melakukannya tanpa
persetujuan darinya. Aku bukan tipe cowok yang demikian. Bagiku seks
adalah kesepakatan, sepakat berdasarkan kesadaran tanpa adanya unsur
pemaksaan. Erika menatapku sendu lalu mengangguk pelan sebelum
memejamkan matanya. Bukan main senangnyahatiku, akhirnya.. "yes!". Aku
akan memperlakukannya dengan hati-hati sekali begitu dalam pikiranku.
Kini
aku berkonsentrasi penuh dengan menuntun batang kemaluanku yang
perlahan menyusup ke dalam liang kewanitaan Erika. Terasa seret, memang,
namun aku malah semakin menyukainya. Perlahan namun pasti batang
kemaluanku membelah liang kewanitaannya yang ternyata begitu kencang
menjepit batang kemaluanku. Liang kewanitaan Erika begitu licin hingga
agak memudahkan batang kemaluanku untuk menyusup lebih ke dalam. Erika
memeluk erat tubuhku sambil membenamkan kuku-kukunya di punggungku
hingga aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli.
"Mas Don, gede banget, ohh.." Erika menjerit lirih. Tangannya turun menangkap batang kemaluanku.
"Pelan
Maas," ujarnya berulang kali, padahal aku merasa aku sudah melakukannya
dengan begitu pelan dan hati-hati. Mungkin karena lubang kemaluannya
baru kali ini dimasuki oleh batang kemaluan seperti milikku ini. Soalnya
aku tahu pasti ukuran batang kemaluan Heri, pacar Erika tidaklah
sebesar yang kumiliki. Makanya Erika agak kesakitan.
Akhirnya
batang kemaluanku terbenam juga di dalam kewanitaan Erika. Aku berhenti
sejenak untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul akibat kontraksi
otot-otot dinding kewanitaan Erika. Denyutan itu begitu kuat
sampai-sampai aku memejamkan mata untuk merasakan kenikmatan yang begitu
sempurna. Kulumat bibir Erika sambil perlahan-lahan menarik batang
kemaluanku untuk selanjutnya kubenamkan lagi.
Aku menyuruh Erika
membuka kelopak matanya. Erika menurut. Aku sangat senang melihat
matanya yang semakin sayu menikmati batang kemaluanku yang keluar masuk
dari dalam kemaluannya.
"Aku suka memekmu, Kaa.. memekmu masih rapet,
Sayang" ujarku sambil merintih keenakan. Sungguh, liang kewanitaan
Erika enak sekali.
"Ihh.. Mas Doni ngomongnya vulgar banget," balasnya sambil tersipu malu lalu mencubit pinggangku.
"Tapi enak kan, Sayang?" tanyaku lalu dijawab Erika dengan anggukan kecil.
Aku
menyuruh Erika untuk menggoyangkan pinggulnya. Erika langsung
mengimbangi gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada
pinggangnya. "Suka batang kemaluanku, Ka?" tanyaku lagi. Erika hanya
tersenyum. batang kemaluanku seperti diremas-remas ditambah jepitan
liang senggamanya yang sepertinya punya kekuatan magis untuk menyedot
batang kemaluanku. Pintar juga dia menggoyang, batinku.
"Ohh..
hh.." aku menjerit panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku mencoba
mengangkat dadaku, membuat jarak dengan dadanya dengan bertumpu pada
kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa untuk
mengeluar-masukkan batang kemaluanku ke dalam liang senggama Erika.
Kuperhatikan batang kemaluanku yang keluar masuk dari dalam liang
senggamanya. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Erika
semakin melebarkan kedua pahanya sementara tangannya melingkar erat di
pinggangku. Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi goyangan
pinggul Erika yang semakin tidak terkendali.
"Ka.. enak banget, sayang, kamu pintar, Sayang.." ucapku keenakan.
"Aku juga, Mas Don.." jawabnya mali-malu.
Erika
merintih dan mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan. Berulang kali
mulutnya mengeluarkan kata, "aduh" yang diucapkan terputus-putus. Aku
merasakan liang senggama Erika semakin berdenyut sebagai pertanda Erika
akan mencapai puncak pendakiannya.
Aku juga merasakan hal yang sama
dengannya, namun aku mencoba bertahan dengan menarik nafas dalam-dalam
lalu bernafas pelan-pelan untuk menurunkan daya rangsangan yang kualami.
Aku tidak ingin segera menyudahi permainan ini hanya dengan satu posisi
saja.
Aku mempercepat goyanganku ketika kusadari Erika hampir
mencapai orgasmenya. Kuremas buah dadanya kuat seraya mulutku menghisap
dan menggigit puting susu Erika. Kuhisap dalam-dalam.
"Ohh.. hh.. Mas
Donii.." jerit Erika panjang.
Aku membenamkan batang kemaluanku
kuat-kuat ke liang senggamanya sampai mentok agar Erika mendapatkan
kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya melengkung indah dan untuk beberapa
saat lamanya tubuhnya kejang. Kepalaku ditarik kuat terbenam diantara
buah dadanya. Pada saat tubuhnya menyentak-nyentak aku tak sanggup untuk
bertahan lebih lama lagi. "Kaa.. aakuu.. keluaarr, Saayang.. Ohh..
hh.." jeritku.
Aku ingin menarik keluar batang kemaluanku dari
dalam liang senggamaknya. Namun Erika masih merasakan orgasmenya
sehingga pinggangku serasa dikunci oleh kakinya yang melingkar di
pinggangku. Saat itu juga aku memuntahkan cairan hangat dari batang
kemaluanku. Kurasakan tubuhku bagai melayang terbang, tidak berbobot.
Aku tak sempat menarik keluar batang kemaluanku lagi karena secara
spontan Erika juga menarik pantatku kuat ke tubuhnya. Mulutku yang
berada di belahan dada Erika kuhisap kuat hingga meninggalkan bekas
merah pada kulitnya. Telapak tanganku mencengkram buah dada Erika.
Kuraup semuanya sampai-sampai Erika kesakitan.
Aku tak peduli lagi.
Spermaku akhirnya muncrat membasahi lubang sorganya. Aku merasakan
nikmat yang tiada duanya ditambah dengan goyangan pinggul Erika pada
saat aku mengalami orgasme.
Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya
di atas tubuh Erika. Batang kemaluanku masih berada di dalam liang
kenikmatan Erika. Erika mengusap-usap permukaan punggungku. "Kamu
menyesal, Ka?" ujarku sambil mencium pipinya. Erika menggeleng pelan
sambil membalas membelai rambutku. Aku tersenyum kepadanya. Erika
membalas.
Kusandarkan kepalaku di dadanya. Jam telah menunjukkan pukul
17:00 dan aku mesti menjemput Era, kekasihku dan begitu pula dengan
Erika yang mesti menemani Heri. Sebelum berpisah, kami berciuman untuk
beberapa saat.